SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI MIN RANDUWATANG KAB. JOMBANG   SEGERA KUNJUNGI KELAS VIRTUAL MIN RANDUWATANG KAB.JOMBANG DAPATKAN SESUATU YANG BERMANFA'AT   AKHIRNYA PENGUMUMAN TENAGA HONORER K2 YANG LULUS CPNS UNTUK PEMERINTAH KAB. JOMBANG KELUAR JUGA, SEBANYAK 533 ORANG YANG DINYATAKAN LULUS & UNTUK KEMENTERIAN AGAMA SAMPAI HARI INI MASIH DALAM PROSES (Lihat Pengumuman Di Posting Terbaru Web Ini)"   TERBARU : Unduh Regulasi Tentang UAMBN / UN Tahun 2013-2014 di Website MIN Randuwatang Kab. Jombangdisini (Update UN 2014)   

5 Agustus 2011

Tadarus bukan Sekadar Baca

SUDAH menjadi kebiasaan di masyarakat kita, dalam menyambut bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah dan rahmat. Detik demi detik, dalam bulan ini mengandung keutamaan dan makna. Manusia yang beruntung, adalah manusia yang mengetahui dan memanfaatkan kebesaran Ramadhan secara optimal. Bulan Ramadhan, berbeda dengan bulan-bulan lainnya di sepanjang tahun. Apa yang didapat dalam bulan ini, belum tentu ditemukan pada bulan-bulan lainnya.

Kendatipun hitungan waktu dan harinya tidak berbeda dari bulan lainnya. Persoalannya, bukanlah pada hitungan lama waktu, tetapi pada makna dan nilai yang dikhususkan Allah bagi bulan ini saja. Ia menjadikan bulan ini, sebagai wacana pembentukan dan penempatan insan yang berkualitas, baik secara fisik dan rohaniyah. Tidak heran, berbagai aktivitas masyarakat dilakukan, khusus dipersiapkan untuk kebutuhan di bulan ini. Mulai dari persiapan jasmani maupun rohani. Lebih penting lagi adalah persiapan rohani.

Ada kecenderungan yang sudah mentradisi di masyarakat Aceh khususnya, terutama dalam mengisi kegiatan pada malam bulan Ramadhan. Kalau kita menyempatkan diri sejenak ke pelosok gampong, atau kerumunan kota di malam bulan Ramadhan, akan ditemukan banyak orang yang sedang membaca Alquran (tadarrus) dari awal hingga akhir Ramadhan, bahkan ada di antara mereka khatam Alquran berkali-kali.

Suatu hal yang perlu dicermati dalam fenomena di atas, pada umumnya masyarakat kita di Aceh, tadarrus dipahami sekadar "aktivitas bacaan ritual pada malam bulan Ramadhan, dengan lantunan lagu yang bervariasi, dan tak kalah pentingnya, dengan suara yang begitu keras". Ini disebabkan membaca Alquran saja adalah ibadah yang cukup tinggi nilainya, karena ia berasal dari Allah, apalagi jika dibaca dalam bulan Ramadhan.

Pada umumnya, masyarakat lebih banyak memahami Alquran sebatas membacanya mendapatkan pahala, khususnya di bulan suci Ramadhan, sebagai momen untuk meraih pahala. Bahkan tidak jarang di masjid-masjid, membaca Alquran di malam bulan Ramadhan, dijadikan sebagai alat perlombaan suara secara bergantian. Tradisi ini terus dipertahankan hingga ke Ramadhan berikutnya. Sehingga umat Islam sering terjebak ke dalam "sakralisasi pemahaman Alquran". Oleh karena itu, merupakan sebuah perbuatan yang agak sia-sia, bila Alquran terus didengungkan di mana-mana, tanpa memahami ajaran-ajaran normatif yang terdapat di dalamnya. Trend ini berkembang secara sistematis, sejalan dengan pemahaman masyarakat yang cenderung memahami Alquran sebatas bacaan mulia saja. Jika ini terus dibiarkan tidak mustahil akan semakin menghilangkan makna dan hakikat Alquran.

Sedangkan aspek memahami makna Alquran, hampir tidak ada sama sekali, kecuali bagi "kelompok tertentu atau individu" yang khusus menekuni di bidangnya. Kesadaran seperti ini amat sangat disayangkan bagi kaum muslimin umumnya. Padahal Alquran, menyuruh umat ini agar "mambaca" tanda-tanda yang telah diberikan-Nya. Kata "Iqra'" yang terdapat dalam Alquran (al-`Alaq (95): 1) tidaklah dipahami sebagai "membaca dengan mata" apa yang tertulis. Lebih dari itu membaca, merenungi, menghayati, lalu diamalkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga sesuai dengan salah satu fungsi Alquran itu sendiri adalah hudan li al-muttaqin (QS. Al-Baqarah (2): 2), yakni petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Islam tidak membiarkan manusia menemui konsep pengembangan dirinya tanpa ada pedoman dan pijakan yang jelas, tetapi memberi tuntunan dan petunjuk, serta rumusan sempurna bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Di sinilah pentingnya kehadiran ayat-ayat Alquran sebagai pemberi isyarat yang siap pakai, sehingga lebih memudahkan manusia untuk meraih kesuksesan dalan hidupnya di dunia dan akhirat.

Tentunya upaya memahami ayat-ayat Alquran tidaklah memadai jika sebatas membacanya saja tanpa ada upaya mengakaji dan menghayati makna yang terkandung di dalamnya.

Seperti dikatakakan Muhammad Iqbal dalam bukunya "The Reconstruction of Thought Religious in Islam", New Delhi, 1981, "Nilai-nilai dasar ajaran al-Qur'an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu.

Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional Alquran dan mendalami semangat yang terkandung di dalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku". Tanpa mengurangi nilai ibadah membacanya, kandungan dan maknanya itulah yang menjadi kenyataan, yang menjiwai dan mendasari perilaku setiap insan. Agaknya tidak berlebihan, jika dikatakan beribadah tidak hanya melalui ritus seperti membaca Alquran, shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Mempelajari dan memahami isi kandungan Alquran, juga merupakan bagian dari ibadah. Kenyataan ini akan dapat menjawab suatu pertanyaan "bagaimana Alquran yang wujudnya sebatas tulisan semata, dapat menjadi petunjuk" bagi umat manusia.

Terlebih dahulu tentunya harus dilandasi oleh keimanan atau kepercayaan. Dasar keimanan dan kepercayaan inilah sebagai modal utama bagi setiap muslim mempelajari lebih mendalam kandungan makna Alquran. Dalam masyarakat kita, pola pemahaman dalam bentuk pertama didominasi oleh masyarakat Islam yang "awam" terhadap ilmu-ilmu Alquran, di mana Alquran dipahami sebagai bacaan ritual. Sedangkan pola pemahaman kedua lebih didominasi oleh masyarakat yang memahami Alquran sebagai bacaan mulia yang bernilai ibadah sekaligus memahaminya sebagai pedoman hidup bagi manusia.

Membangun etos keilmuan
Dengan semangat Ramadhan ini, momen penting yang dilakukan, adalah mengembalikan tradisi di atas kepada karakter aslinya. Upaya ini hanya dapat dilakukan dalam bentuk tadarrus intelektual, dengan harapan, tentunya akan semakin tersosialisasi visi-visi Alquran yang general, berkelanjutan dan abadi. Tadarrus intelektual ini akan menjadi rantai penghubung (jiwa), antara ajaran Alquran yang religius (agamis) dengan kajian disiplin-disiplin ilmu keislaman, sains, ilmu sosial, dan aturan yang bersifat duniawi.

Dengan membudayakan tadarrus intelektual ini, diharapkan menjadi tradisi baru umat Islam khususnya di Aceh untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman di masa selanjutnya, yang pada akhirnya melahirkan sumber daya manusia berkualitas dan sekaligus berkuantitas.

(Dedy Sumardi, Dosen Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh).
Sumber : TRIBUNNEWS.COM