Gemar takbir berkumandang di seluruh penjuru negeri ini, mengagungkan nama-Nya dan mentauhidkan keesaan-Nya. Menyambut hari raya Idul Adha atau disebut juga hari raya haji yang selalu dilaksanakan di bulan Dzulhijjah. Idul Adha yang jatuh tepat pada tanggal 10 Dzulhijjah 1432 H / 6 Nopember 2011 dan peristiwa kurban yang setiap tahun
dirayakan umat muslim di belahan dunia seharusnya tak lagi dimaknai sebatas
proses ritual, tetapi juga diletakkan dalam konteks peneguhan
nilai-nilai kemanusiaan dan spirit keadilan, sebagaimana pesan tekstual
utama agama.
Kurban
dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu terdapat apa
yang biasa disebut udlhiyah (penyembelihan hewan kurban). Pada hari itu
kita menyembelih hewan tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau, guna
memenuhi panggilan Tuhan.
Idul Adha juga merupakan refleksi atas
catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk
mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi
Ibrahim. Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu
mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan.
Dalam
konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan
sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang
diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan
anaknya yang amat dicintainya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang
menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada
titah sang pencipta.
Bagi Ali Syari’ati (1997),
ritual kurban bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri
kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama,
terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Sementara bagi Jalaluddin
Rakhmat (1995), ibadah kurban mencerminkan dengan tegas pesan
solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita
yang kekurangan. Dengan berkurban, kita
mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki
kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila
Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin. Ibadah
kurban mengajak mereka yang mustadh’afiin untuk merasakan kenyang
seperti Anda.
Atas dasar spirit itu, peringatan
Idul Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus.
Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik. Kurban
adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang pencipta,
sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat kita kasihi.
Kedua,
makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati
orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan
perintah kurban. Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya
agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama. Kurban
adalah media ritual, selain zakat, infak, dan sedekah yang disiapkan
Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan sosial itu.
Ketiga,
makna bahwa apa yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat tamak dan
kebinatangan yang ada dalam diri manusia seperti rakus, ambisius, suka
menindas dan menyerang, cenderung tidak menghargai hukum dan norma-norma
sosial menuju hidup yang hakiki.
Bagi
Syari’ati, kisah penyembelihan Ismail, pada hakikatnya adalah refleksi
dari kelemahkan iman, yang menghalangi kebajikan, yang membuat manusia
menjadi egois sehingga manusia tuli terhadap panggilan Tuhan dan
perintah kebenaran. Ismail adalah simbolisasi dari kelemahan manusia
sebagai makhluk yang daif, gila hormat, haus pangkat, lapar kedudukan,
dan nafsu berkuasa. Semua sifat daif itu harus disembelih atau
dikorbankan.
Pengorbanan nyawa manusia dan
harkat kemanusiaannya jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan
agama mana pun. Untuk itu, Ibrahim tampil menegakkan martabat
kemanusiaan sebagai dasar bagi agama tauhid, yang kemudian dilanjutkan
oleh Nabi Muhammad dalam ajaran Islam. Ali Syari’ati mengatakan Tuhan
Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus darah manusia, berbeda dengan tradisi
masyarakat Arab saat itu, yang siap mengorbankan manusia sebagai
“sesaji” para dewa.
Ritual kurban dalam Islam
dapat dibaca sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi
“sesaji” Tuhan. Manusia, apa pun dalihnya, tidak dibenarkan dibunuh atau
dikorbankan sekalipun dengan klaim kepentingan Tuhan. Lebih dari itu,
pesan Idul adha (Kurban) juga ingin menegaskan dua hal penting yang
terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas).
Pertama,
semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras,
suku atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai
ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan
manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat
diletakkan dalam konteks penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti
sikap adil, toleran, dan saling mengasihi tanpa dilatarbelakangi
kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu sendiri.
Masalahnya,
spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama Islam, dalam
banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah. Seakan-akan agama
hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, yang
lepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Keberagamaan yang terlalu
teosentris dan sangat personal itu, pada akhirnya terbukti melahirkan
berbagai problem sosial dan patologi kemanusiaan.
Alquran
menganjurkan kita agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif, lurus dan
tidak menyimpang. Selain hanif, agama Ibrahim juga agama yang samaahah,
yang toleran terhadap manusia lain. Pesan kurban harus mampu menjawab
persoalan nyata yang dihadapi umat, seperti perwujudan kesejahteraan,
keadilan, persaudaraan, dan toleransi. Sulit membayangkan jika banyak
umat yang saleh secara ritual, khusyuk dalam berdoa, dan rajin
berkurban, tetapi justru paling tak peduli pada tampilnya kemungkaran.
Sekaranglah
saatnya kita mewujudkan penegakan solidaritas dan keadilan sosial
sebagaimana diajarkan Nabi Ibrahim, dan membumikan ajaran Ismail sebagai
simbol penegakan nilai-nilai ketuhanan di tengah-tengah kehidupan umat
manusia yang kian individual, pragmatis, dan menghamba pada materi.
Karena, seperti kata Rabindranath Tagore (1985), Tuhanmu ada di jalan di
mana orang menumbuk batu dan menanami kebunnya, bukan di kuil yang
penuh asap dupa dan gumaman doa para pengiring yang sibuk menghitung
lingkaran tasbih.