Peringatan Hari
Ibu yang jatuh pada hari ini tanggal 22 Desember adalah momentum untuk mengingat dan meneguhkan
kontribusi gerakan kaum perempuan dalam menyiapkan Indonesia sebagai
negara bangsa yang bebas dari kolonialisme, berdaulat, adil dan makmur.
Hari Ibu bukan semata-mata memperingati jasa ibu saja.
Dalam konteks publik dan kebangsaan, Hari Ibu adalah hari saat
sejumlah organisasi perempuan pada 1928 berkumpul dan melakukan Kongres
Perempuan I yang dihadiri 1.000 orang untuk mendeklarasikan perjuangan
melawan kolonialisme, memikirkan konsep negara bangsa, dan mengantarkan
pada apa yang disebut sebagai era Kebangkitan Nasional.
"Peran penting inilah yang sering dilupakan sejarah bangsa dan
generasi berikutnya bahwa seolah-olah kaum perempuan dan kaum ibu tidak
memiliki kontribusi signifikan dalam gerakan kebangkitan nasional dan
pembentukan Indonesia sebagai negara bangsa. Peringatan hari Ibu
cenderung melupakan makna sejarahnya dan yang mengemuka justru
seremoninya," ujar Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan untuk
Pendidikan, Riset dan Partisipasi Masyarakat, dalam rilis yang diterima MediaIndonesia.com, Jakarta, Kamis (22/12).
Sekarang ini, menurut Neng Dara, penghargaan terhadap kaum ibu
adalah membebaskan dirinya sendiri dari berbagai bentuk kekerasan, baik
kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Saat ini, lanjutnya, para
istri dan ibu belum terbebaskan dari kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2010, dari total 105.103 kasus
kekerasan terhadap perempuan yang tercatat, 96 persen atau 101.128 kasus
adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sementara itu, hasil dokumentasi Komnas Perempuan sejak tahun
1998-2010 menunjukkan 1/4 atau 93.960 kasus adalah kasus kekerasan
seksual berupa perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan untuk
tujuan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, dan
sebagainya.
Kasus yang kini marak dan peristiwanya terus berulang adalah
perkosaan dalam angkutan kota. Hal ini semestinya menjadi perhatian
penting pemerintah, terutama pemenuhan keadilan dan pemulihan bagi
perempuan korban dan memberi sangsi hukum yang setimpal bagi para
pelakunya.
Ia menambahkan, jika kekerasan terhadap perempuan masih sangat
menguat di sekitar kita, pemberdayaan terhadap perempuan akan sangat
sulit dilakukan. Sebab, prasyarat perempuan untuk berdaya adalah
membebaskannya dari kekerasan dalam bentuk apa pun.
"Kekerasan terhadap perempuan berdampak secara mental pada
depresi dan kerapuhan jiwa yang akut, kemampuan menyelesaikan masalah
yang rendah, keinginan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku. Secara
fisik pun ia akan berdampak masalah-masalah kesehatan reproduksi
perempuan," pungkas Neng Dara.(mediaindonesia.com)